Ra njowo

Dahulu, iyaa, dulu ketika aku masih kecil, yaa, sekitar umur antara 5-10 tahun, jika aku melakukan kesalahan yang menurut bapak ibuku ndak pas, beliau langsung bilang "woo, cah ra njowo."

Saat itu, aku paham maksud beliau. "Ra njowo, atau ora njowo" itu artinya aku ndak punya tata krama. Tidak sopan.

Misalnya, pas bapak ibuku sedang berbicara, aku menyela minta duit. Atau, saat ibuku masih masak di dapur, nasi belum masak, aku nangis minta diambilkan nasi. Atau, ketika bapak ibuku mau pergi kondangan, aku merengek minta ikut.

Untuk yang terakhir itu, jika aku masih merengek, bapakku akan mengambil rumput jepang atau rafia, lalu mengikatku di tiang rumah, trus memandikannku, sembari marah dan berkata "cah ra nduwe isin, ra njowo."

Saat aku sudah selesai kuliah, aku masih memahami kalau "ra njowo" itu artinya tidak sopan. Itu hanya istilah orang jawa untuk menamai perilaku mereka yang tidak sesuai dengan aturan umumnya orang jawa.

Namun, ketika bapak ibuku meninggal, dan aku tinggal di jogja, aku tak lagi mendengar orangtua jawa yang memarahi anaknya yang perilakunya tidak sopan dengan "ra njowo." Para orangtua lebih sering memarahi anaknya dengan bahasa indonesia: "itu ndak bagus tahu ndak." Atau "kurang ajar." Atau "besok lagi jangan diulangi". Ketiganya sembari mata dan mukanya memerah.

Suatu hari aku merenung, kenapa orang jawa menamai perilaku yang tak sopan dengan istialah "ora njowo?" Aku tak menemukan itu di suku bangsa lain. Misalnya, orang batak menyebut "tak batak", orang melayu "tidak melayu", orang sasak "ndek sasak", atau orang sunda "ntek nyunda".

Lalu, suatu pagi, dari tape mobil yang lewat, selintas aku mendengar sebuah tembang berbahasa jawa dengan lirik demikian:

Hai banyu...hai banyu
Neng kene ana crita
Critane uwong jawa, kang kelangan makna
Ee...yooo...ee...yooo

Hai geni...hai geni
Neng kene ana crita
Critane uwong jawa, kang nggoleti makna
Ee...yooo...ee...yoo

Seketika aku tergeragap, lalu ingat orangtuaku.




Prambanan malam hari
2016


Komentar

Postingan Populer