INDONESIA MULIA, sebuah tawaran kosmologi nasional
Mungkinkah kosmologi nasional
dirumuskan dalam sebuah slogan seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika?
Adakah istilah leluhur Jawa
yang dapat dijadikan slogan kosmologi nasional seperti Pancasila dan Bhineka
Tunggal Ika?
Mungkinkah manusia Indonesia
(baca: kebudayaan Indonesia) memiliki pandangan dunia yang serupa meski tak
sama, tetapi dapat disatukan seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika?
Dalam konteks Indonesia,
kehidupan manusia nusantara tidak dibangun secara hirarkis, melainkan semua
dalam posisi yang sama. Ajaran Jawa menyebutkan, tanah nusantara dibangun oleh hati
manusia-manusia yang saling mengenakkan satu sama lain sesuai kodrat Gustialah, yang semuanya dalam rangka
memuliakan semua manusia di dunia.
Inilah yang disebut dengan bebrayan ageng. Yakni, konsep hidup
bersama sebagai keluarga besar dalam suasana hati yang saling mengenakkan. Ini
sesuai dengan yang tertulis dalam serat
wredhatama karya KGPAA Mangkunegara IV
pupuh II sinom 1: [1]
Nulada laku utama, tumraping wong tanah
jawi, wong agung ing ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane
hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, mamangun karyenak
tyasing sesami.
Artinya:
Meneladani
laku utama, terhadap orang Jawa yang luhur perilakunya dan rendah hati, yakni Panembahan
Senopati, yang telah meninggalkan hawa nafsu dengan bertapa, agar dapat
membangun hidup bersama dengan hati yang saling memuliakan sesama.
Konsep memuliakan seperti dalam
sesanti Panembahan Senopati (wafat 1600) ini telah
menjadi kosmologi leluhur Jawa dalam memahami dunia besar (semesta) dan dunia
kecil (manusia) selama ini.
Dalam ajaran Jawa,
pengejawantahan memuliakan sesama makhluk ini ujungnya adalah memuliakan Gustialah (baca: Tuhan). Artinya, proses
memuliakan sesama makhluk ini adalah suluk spiritual manusia.
Jika dibayangkan bahwa dunia
ini bulat, maka memuliakan dapat dimulai dari kanan ke kiri (prasawiya) atau sebaliknya dari kiri ke
kanan (pradaksina). Proses prasawiya ini disimbolkan dengan belok ke kanan terlebih dahulu terus ke kiri hingga
ke puncak ketika memasuki bangunan Candi Borobudur. Tujuannya agar dapat memahami arti gambar di
dinding candi yang menceritakan proses suluk spiritual Sang Budha.
Sementara itu, proses pradaksina disimbolkan dnegan belok ke
kiri kemudian ke kanan hingga ke candi terakhir ketika memasuki komplek Candi
Prambanan. Tujuannya agar memahami
bangunan candi dan gambar di dinding candi yang menceritakan proses
suluk spiritual Wisnu, Siwa, dan Brahma.
Dengan konsep ini, bumi nusantara
sedari mula telah mempersilakan segala suku bangsa yang akan hidup di dalamnya
dengan tangan terbuka. Terbukti, sejak zaman manusia purba hingga zaman
milenial sekarang ini, Indonesia telah jadi tanah persinggahan dan ruang hidup suku-suku
bangsa di dunia. Sayangnya, dikarenakan adanya
sekelompok orang yang memaksakan kepentingannya, visi dunia agar semua yang
hidup di Indonesia saling memuliakan sesama ini tidak terwujud.
Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia, istilah mulia ini sebenarnya sudah tercantum dalam teks lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman tiga stanza. Namun, teks asli
tersebut tidak dinyanyikan dalam perayaan hari-hari besar selama ini, yang hanya mengambil satu stanza.
Di pertengahan tahun 1928, lagu
'Indonesia Raya' selesai ditulis. Ketika Kongres Pemuda II, untuk kali pertama
lagu itu diperdengarkan di tengah khalayak dengan gesekan biola Wage Rudolf
Supratman, bersamaan dengan lahirnya Sumpah Pemuda.[2]
Lirik dan notasi lagu ini
dimuat di surat kabar Sin Po edisi
10 November 1928. Semula lagu ini judulnya 'Indonesia', bukan 'Indonesia Raja'
atau 'Indonesia Raya'. Menurut Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), 5.000 eksemplar teks
lirik dan notasi itu dicetak. Sin Po adalah
tempat Supratman bekerja sebagai jurnalis.[3]
Lirik lagu Indonesia yang asli
(3 stanza) adalah sebagai berikut:
Indonesia, tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.
Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe:
"Indonesia Bersatoe".
Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg'rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.
II
Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek s'lama-lamanja.
Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoea,
Marilah kita mendoa:
"Indonesia Bahagia".
Soeboerlah tanahnja,
Soeboerlah djiwanja,
Bangsanja, rajatnja, semoeanja,
Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.
III
Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai,
Marilah kita berdjandji:
"Indonesia Bersatoe"
Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.
Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe:
"Indonesia Bersatoe".
Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg'rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.
II
Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek s'lama-lamanja.
Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoea,
Marilah kita mendoa:
"Indonesia Bahagia".
Soeboerlah tanahnja,
Soeboerlah djiwanja,
Bangsanja, rajatnja, semoeanja,
Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.
III
Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai,
Marilah kita berdjandji:
"Indonesia Bersatoe"
S'lamatlah rajatnja,
S'lamatlah poet'ranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea,
Madjoelah neg'rinja,
Madjoelah Pandoenja,
Oentoek Indonesia Raja.
Refrain
Indones', Indones',
Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg'rikoe jang koetjinta.
Indones', Indones',
Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.
Namun, ketika Menteri Kehakiman
dipegang GE Maengkom dan Perdana Menteri dijabat Ir. Djuanda, pada tanggal 26
Juni 1958, keluarlah Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1958 tentang Lagu
Kebangsaan Indonesia Raya dan Lembaran Negara No. 72 tahun 1958
tentang Lagu KebangsaanIndonesia Raya. Liriknya diubah seperti yang
dinyanyikan sekarang.[4]
I
I
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg'riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
II
Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s'lama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka,
P'saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
III
Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N'jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.
S'lamatlah rakyatnya,
S'lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg'rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
Refrain
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg'riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
II
Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s'lama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka,
P'saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
III
Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N'jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.
S'lamatlah rakyatnya,
S'lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg'rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
Refrain
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
Dan kini, yang sering
dinyanyikan dalam acara-acara besar kenegaraan hanya stanza I, sedangkan stanza
II dan III tak dinyanyikan lagi.
Mencermati pengggunaan kata
mulia dan filosofinya, maka INDONESIA MULIA mungkin dapat ditawarkan sebagai
kosmologi nasional. Indonesia Mulia berarti manusia Indonesia yang selalu
memuliakan sesama, baik dalam kancah dunia internasional maupun nasional.
Landasan dari kosmologi ini adalah serat wredhatama karya KGPAA Mangkunegara IV pupuh II sinom.
Nulada
laku utama, tumraping wong tanah jawi, wong agung ing ngeksiganda, Panembahan
Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing
siyang ratri, mamangun karyenak tyasing sesami.
Slogan Indonesia Mulia
merupakan saripati dari kalimat tersebut. Dengan adanya slogan ini, semoga
rakyat Indonesia mulai menyadari akan hidup bersama dengan saling memuliakan
satu sama lain.
Wallahualam bisawab
Yusuf efendi, Prambanan pagi
hari
[1] Dalam
kasusastran Jawa, sinom berarti muda.
Jadi, kalimat ini kenapa dimasukkan dalam pupuh
sinom, tidak dandanggulo atau gambuh, misalnya? Karena kalimat ini
ditujukan kepada para tunas muda bangsa, agar selalu digelorakan sedari muda. Muda
usia, pikiran, dan semangat spiritualnya.
[2] Anthony C. Hutabarat (2001) Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Wage Rudolf Soepratman: Pencipta Lagu Indonesia Raya.
[4] ibid.
Komentar
Posting Komentar
sila memberi kritik, saran, dan masukan terhadap blog dan isinya, terimakasih